Showing posts with label Cerita Hantu. Show all posts
Showing posts with label Cerita Hantu. Show all posts

Saturday, January 12, 2013

Cerita Hantu Air

Kumpulan cerita Hantu Dan Cerita Seram Teteskan darah kalian masing-masing ke dalam botol dan oleskan sebagian pada kertas putih kecil yang digulung dan dimasukkan ke dalam botol yang sama sebelum kalian sumbat erat dan kalian lempar ke laut lepas ..."


Kata-kata itu terus terngiang di telinga ketiga sahabat yang sedang berkumpul di sebuah warung setempat, tempat mereka biasa bertemu dan menghabiskan waktu setelah mereka satu per satu kehilangan pekerjaan beberapa waktu sebelumnya. Keadaan ekonomi sedang sulit waktu itu. Banyak perusahaan jatuh bangkrut dan terpaksa merumahkan ratusan bahkan ribuan karyawannya, termasuk Bjong, Vikram, dan Chui.

"Bagaimana pendapat kalian? Apakah kita sebaiknya mengikuti apa yang dikatakan wanita itu?" Bjong bertanya sambil mengepul-ngepulkan asap rokoknya.

"Entahlah. Aku sendiri masih ragu-ragu." Vikram menjawab pelan.

Chui yang selama ini hanya diam mendengarkan, ikut menimpali dan berkata,

"Tapi menurutku, tak ada salahnya jika kita mencoba melakukan hal itu. Tak akan ada ruginya, bukan?"

Bjong mengangguk-anggukkan kepalanya. Asap putih mengepul dari rokoknya yang sudah tinggal setengah. Kemudian ia menepuk punggung Chui.

"Baiklah. Kita akan melakukannya malam ini juga."

Chui tersenyum lega. Sementara itu Vikram tidak mengatakan apa-apa. Ia sebetulnya tidak begitu menyetujui usul temannya itu untuk mencari kekayaan dengan cara mistis. Tapi tak enak rasanya jika ia menentang dan menghalangi mereka. Selama ini mereka bertiga selalu bersama, baik dalam suka maupun duka. Dan malam ini, sekali lagi ia akan menjadi bagian dalam kebersamaan mereka.

****

Pagi itu warung ‘Furao’ terlihat ramai tak seperti biasanya. Para pelayan lalu lalang mengantarkan pesanan para tamu. Bjong dan kedua sobat kentalnya terlihat sedang bersantai sambil meminum kopi dan membaca koran di sudut ruangan. Hampir setiap hari mereka berkumpul-kumpul seperti ini semenjak perusahaan tempat mereka bekerja satu per satu jatuh bangkrut dan tak punya pilihan lain selain menutup usaha mereka.

Dahulu Bjong adalah seorang karyawan di suatu pabrik makanan instan milik Singh, temannya satu sekolah dulu. Dia sudah mulai bekerja di situ sejak perusahaan temannya tersebut masih belum berkembang dan Singh masih ke mana mana dengan sepeda tuanya.

Lama-kelamaan usaha Singh mulai berkembang, dan dia mulai sibuk mengembangkan usahanya yang tersebar hampir di seluruh penjuru Bangkok dan Phuket. Sepeda tua yang dulu ditungganginya pun sudah lama ditinggalkannya. Kini mobil keluaran terbaru selalu siap mengantarnya ke manapun ia pergi.

Sementara itu, keadaan Bjong masih sama seperti dahulu. Pergi ke tempat kerja milik temannya itu naik sepeda biru tua yang catnya sudah terkelupas di sana sini. Keadaan majikannya semakin lama semakin membaik dan makmur. Sementara Bjong sebagai bawahannya sudah harus bersyukur dengan gaji yang diterimanya setiap bulan yang hanya mencukupi untuk membiayai seorang istri dan ketiga orang anaknya yang masih kecil-kecil.

Ketika keadaan perekonomian memburuk dan perusahaan Singh harus ditutup, Bjong hanya menerima sedikit sekali uang pesangon dari majikannya itu. Singh beralasan bahwa keadaan sangat buruk dan dia tidak mempunyai uang lebih untuk membayar Bjong, ataupun karyawan-karyawan lainnya. Bahkan ia pun terpaksa menjual beberapa perusahaannya untuk membayar hutang-hutangnya yang menumpuk.

Tapi seburuk-buruknya keadaan waktu itu, Bjong melihat bahwa Singh masih bisa makan di restoran mewah bersama keluarganya dan masih terlihat mengendarai mobil-mobilnya yang mewah. Bjong hanya bisa menghela napas sambil menggerutu mengingat keadaan waktu itu. Semiskin-miskinnya orang kaya, mereka masih dapat hidup mewah dan hidup enak!

“Gimana nih, sudah ketemu pekerjaan yang kau suka?” katanya sambil melirik Vikram yang duduk di sebelahnya sambil menyeruput kopinya yang mulai dingin.

Vikram membolak-balik halaman koran yang sedang dibacanya. Ia sedang mencari pekerjaan baru yang sekiranya cocok dengan dirinya. Sesekali ia terlihat antusias. Tetapi beberapa saat kemudian ia mendesah kecewa.

"Susah amat! Ada beberapa pekerjaan yang sepertinya cocok dengan latar belakang pendidikanku, tapi mereka tak menerima orang-orang uzur seperti kita," keluhnya. "Mereka seharusnya lebih memprioritaskan orang berpengalaman seperti kita-kita ini."

"Kau seperti tak mengerti saja. Perusahaan kan lebih suka menggaji anak-anak muda yang baru lulus dan belum berpengalaman, karena mereka bersedia digaji rendah," Bjong berujar.

Chui mengangguk mengiyakan. "Betul katamu itu. Kalau begitu, bagaimana caranya kita mendapatkan uang untuk menghidupi keluarga kita jika kita tak memperoleh pekerjaan lagi?"

Semua terdiam. Mereka tahu bahwa mencari pekerjaan baru jauh lebih sulit daripada mempertahankan pekerjaan yang sudah ada. Itu pun tak dapat mereka lakukan ketika mereka kehilangan pekerjaan mereka beberapa waktu yang lalu. Mereka hanya bisa pasrah menerima kenyataan bahwa perusahaan tempat mereka bekerja tak sanggup lagi menggaji mereka dan mereka harus puas menerima pesangon yang tak seberapa.

Sekonyong-konyong keheningan mereka dipecahkan oleh suara seorang wanita yang datang dari arah belakang Bjong yang sedang duduk membelakangi jalan. Wanita yang sudah berumur namun masih terlihat cantik dan modis itu datang menghampiri mereka.

"Aku dapat memberitahu kalian bagaimana caranya menjadi kaya dengan mudah."

***
Ombak bergulung-gulung berdebur memecah pantai. Suaranya yang gemuruh diiringi jerit pekik burung-burung laut, menambah kesan misterius malam yang dingin itu.

Bjong, Vikram, dan Chui baru saja tiba di pantai berbatu itu. Tempat tersebut jarang dikunjungi orang, bukan saja karena tempat itu sangat terpencil, tapi juga karena ombaknya yang besar dan ganas membuat takut orang-orang yang ingin berenang di situ.

"Sepertinya inilah saatnya," Chui berkata sambil melirik arloji murah yang melingkar di pergelangan tangannya. Waktu tepat menunjukkan pukul dua belas malam.

Bjong mengeluarkan silet dari saku kemejanya dan ia membuat sayatan kecil pada ujung jari manisnya. Darah segar mulai menetes ke dalam botol kecil yang dipegang Vikram. Setelah dirasanya cukup, ia mengoleskan sedikit darahnya pada kertas kecil yang sudah dipersiapkan sebelumnya.

Chui dan Vikram melakukan hal yang sama. Mereka bergiliran menyayat sedikit ujung jari manis mereka dan membiarkan darah segar menetes ke dalam botol dan mengoleskan sedikit ke atas kertas.

Setelah semuanya selesai, Bjong memasukkan kertas yang sudah ternoda darah ke dalam botol yang berisi campuran darah ketiga orang itu. Ia kemudian menyumbat erat botol kecil itu dan berjalan menghampiri laut. Sementara kedua temannya menunggu di pantai.

Bjong berjalan semakin menjauhi daratan dan air pasang kini telah menggenangi pahanya. Tanpa ragu-ragu ia melemparkan botol itu jauh-jauh ke tengah laut.

***
Hari sudah menjelang pagi. Semburat sinar mentari menaburkan kilau keemasannya di permukaan laut yang terlihat tenang.

Bjong dan kedua temannya tampak masih terlelap. Gemerisik dedaunan dan ranting pohon di atas mereka perlahan memaksa Vikram membuka matanya, dan kemudian segera membangunkan Bjong dan Chui yang masih terhanyut dalam mimpi mereka masing-masing.

Beberapa menit kemudian mereka bertiga terlihat berjalan-jalan di tepi pantai. Mereka tampak seperti sedang mencari sesuatu. Setelah beberapa saat Chui berseru kegirangan memanggil kedua orang temannya.

"Aku menemukannya! Lihat, bukankah ini botol yang tadi malam kita lempar ke tengah laut? Kita telah menemukannya!"

Teman-temannya segera menghampirinya. Vikram mengambil botol tersebut dan melihatnya dengan seksama. "Ya, betul! Tapi tidak ada darah lagi di dalamnya, walaupun kertas itu masih ada. Botol ini tidak mungkin bocor karena kertas ini tampak masih kering."

Tiba-tiba perasaan aneh mulai menyelimuti dirinya.

Bjong tidak sabar lagi. Direbutnya botol itu dari tangan Vikram dan segera dibukanya sumbat botol tersebut. Teman-temannya menahan napas ketika Bjong mengeluarkan kertas dari dalam botol dan membuka gulungannya.

Tak ada lagi noda darah pada kertas itu. Kertas itu tampak putih bersih. Bjong menghampiri tepi laut dan ia membungkuk, membiarkan ombak laut menjilati kertas itu.

Beberapa saat kemudian hal yang paling mustahil terjadi di depan ketiga pasang mata para sahabat itu.

Pelan namun pasti, empat buah angka mulai terlihat di atas kertas yang semula putih bersih.

Lima ... empat ... satu ... enam.

Chui dan Bjong bersorak gembira. Mereka segera mencatat angka-angka tersebut, sementara Vikram hanya diam mematung. Semua hal itu membuat perasaannya tak enak.

***
Bjong dan Chui segera membuka halaman koran bagian tengah. Tampang mereka serius sekali. Kemudian mata mereka tertuju pada sebuah kolom kecil di pojok kanan atas.

Lima ... empat ... satu ... enam!

Mereka saling berpandangan. Senyum licik penuh kemenangan terukir di wajah mereka sebelum akhirnya mereka berteriak gembira dan saling berpelukan. Impian mereka selama ini untuk memperoleh kekayaan yang mereka inginkan kini tampak di depan mata. Mobil mewah… vila… jalan-jalan ke luar negeri…emas… berlian…

***
Orang-orang menutup hidung ketika polisi mengangkat jenasah salah satu putra Bjong yang hilang dari dalam air, sebelum kemudian memasukkannya ke dalam ambulans yang diparkir di tepi pantai. Wajahnya hampir tak bisa dikenali lagi. Tubuhnya membengkak dan tak utuh lagi dengan disertai luka di sana sini. Mungkin akibat dimakan binatang laut, setelah menghilang selama beberapa hari sebelumnya sewaktu berenang di perairan lepas bersama adiknya, yang sampai saat ini jasadnya masih belum ditemukan.

Beberapa hari kemudian, istrinya yang tak kuat mengalami penderitaan ini, ditemukan telah tewas tak bernyawa mengambang di permukaan sungai dengan kepala hancur hampir tak berbentuk dan tubuh memar di sana sini akibat benturan benda keras di sekitar sungai. Orang-orang sebelumnya melihat wanita malang ini berjalan mondar-mandir dengan pandangan hampa sesaat sebelum akhirnya memanjat ke atas pagar jembatan dan terjun bebas ke sungai sehingga kepalanya luka parah terbentur pagar pembatas. Perhiasan-perhiasan mahal masih melekat di tubuhnya ketika orang-orang menemukannya di sungai.

Bjong sangat terpukul dengan semua ini dan ia harus menghuni rumah sakit jiwa. Beberapa orang perawat kerap kali memergokinya sedang melempar-lemparkan botol kosong ke dalam bak air sambil berteriak dan tertawa-tawa.

Chui tersiram air panas sewaktu sedang memasak dan sekujur tubuhnya melepuh. Ia dirawat selama beberapa hari di rumah sakit setempat. Tapi lukanya yang parah telah menimbulkan infeksi dan berbagai penyakit komplikasi lainnya, sehingga ia tapuk dapat bertahan lagi dan menghembuskan napas yang terakhir.

Vikram yang tak sepenuhnya mengikuti permainan maut kedua temannya tak luput dari musibah. Secara tiba-tiba saja ia terpeleset sewaktu menyeberang di jalan raya. Sebuah mobil yang melintas tak bisa lagi menghindarinya dan menggilas kedua kakinya hingga hancur. Ia akhirnya selamat setelah seseorang melihat kecelakaan tersebut dan bergegas membawanya ke rumah sakit terdekat.

Tak seorang pun mengetahui mengapa ketiga sahabat ini mengalami musibah yang sangat mengerikan secara hampir bersamaan. Dan semua musibah yang menimpa mereka disebabkan oleh air, yang telah memberikan apa yang mereka inginkan, dan yang menuntut imbalan atas apa yang telah mereka peroleh.

Ke sanalah mereka telah mengantarkan darah mereka. Dan dari sana pulalah siulan kematian itu mengalun. kumpulan cerita Hantu Dan Cerita Seram

Cerita Hantu Cerita Seram Angka

kumpulan Cerita Hantu Cerita Seram Angka Hari sudah menjelang malam ketika Rasyid berangkat meninggalkan rumahnya. Tas ransel hitam besar tergantung di punggung, terayun-ayun memanggul segala macam barang yang telah dipersiapkan sejak beberapa hari sebelumnya.
Sambil berjalan pelan menyusuri gang-gang sempit, ia membalas sapaan tetangga-tetangganya dengan senyuman dan jawaban sekenanya.


"Mau ke mana nih malam-malam begini?" Seorang ibu tua yang rambutnya sudah beruban semua menyapanya.
"Ada perlu sebentar, Bu," Rasyid menjawab pendek sambil tersenyum.
Penduduk kampung ini memang selalu ingin tahu segala urusan orang lain, ujarnya dalam hati. Tapi tak lama lagi aku akan punya uang cukup banyak untuk membeli sebuah rumah baru yang besar dan indah di kota, cukup besar untuk istri dan anak-anakku kelak. Ia tersenyum membayangkan semua itu.

Beban berat yang menggelayut di punggung tak dirasakannya lagi. Tanpa terasa ia telah melewati perkampungan penduduk yang padat. Di hadapannya kini terpapar jalan bebatuan dengan pesawahan yang membentang di kiri kanannya. Napasnya mulai tersengal-sengal dan peluh mulai mengucur di dahinya. Tapi semua itu tak dihiraukannya. Bayangan kehidupan nyaman yang menantinya di depan mata menambah cepat ayunan langkahnya.

Sebentar lagi, sebentar lagi... ia menyemangati dirinya sendiri.

Jam di tangan kirinya sudah menunjukkan pukul 23.35 ketika ia mulai memasuki kompleks pekuburan Cina tersebut. Suasana sepi mencekam. Suara burung hantu dan binatang malam lainnya hanya menambah kesunyian di tempat itu terasa semakin menggigit.

Sejenak Rasyid menghentikan langkahnya. Ia mengingat-ingat rute mana yang harus diambilnya. Kemarin siang ia sudah mendatangi pekuburan ini untuk melihat-lihat keadaan. Tapi situasi di malam hari yang gelap pekat benar-benar membuat segala sesuatunya terlihat berbeda. Lampu senter kecil yang dibawanya dari rumah tak banyak membantu.

Ia melihat berkeliling sambil memeras otak. Setelah beberapa saat ia mulai melangkahkan kakinya kembali. Kali ini dengan penuh perhitungan dan kehati-hatian. Ia tak mau kakinya tergores semak berduri atau terantuk bebatuan besar yang banyak terdapat di pekuburan itu.

Beberapa menit kemudian ia tiba di makam yang ditujunya. Sebuah makam yang kecil dan terawat. Makam itu terlihat masih baru. Kelopak bunga-bunga segar bertaburan di atasnya.

Dengan hati-hati Rasyid memanjat pagar besi yang mengitari makam. Napasnya memburu ketika ia mengangkat tubuhnya yang berat. Huh, akhirnya aku sampai juga, ujarnya sambil mengusap keringat di dahinya. Hawa dingin yang berhembus dari arah pegunungan sedikit membawa kesejukan baginya.

"Hmmm... tidak salah lagi. Ini memang makam Koh Peng Sun yang meninggal tiga hari yang lau. Kini ia akan memberikan semua hal yang kuimpi-impikan selama ini," Rasyid berkata dalam hati sambil tersenyum puas. Ia kemudian meletakkan ransel bawaannya di atas batu di samping makam sebelum ia sendiri duduk di atas batu yang sama di sisinya. Batu itu terasa dingin dan lembap, mungkin karena hujan deras yang mengguyur daerah itu siang sebelumnya. Lalu ia membuka ransel dan mengeluarkan isinya.

Beberapa menit kemudian asap putih pekat terlihat mengepul. Mulut Rasyid berkomat kamit membaca mantra sementara ia membakar lebih banyak dupa dan kemenyan, menebarkan bau semerbak di tempat itu.

Ia melirik jamnya. Sudah pukul 23.50. Dilihatnya jarum jam berdetik pelan. Sementara itu ia masih terus berkomat-kamit membaca mantra-mantra yang telah dihafalkannya.

Lima .... empat ..... tiga ..... dua ..... satu ......!

Tepat pukul 24.00!

Seketika itu pula ditancapkannya batang bambu yang dipegangnya sedari tadi tepat di tengah-tengah makam. Pekik kesakitan terdengar dari dalam makam. Rasyid tahu, itu bukan suara manusia biasa. Ia tak mempedulikannya. Sambil terus mengucapkan mantra, ia merogoh ke dalam ransel dan mengeluarkan beberapa kantong darah yang dicurinya dari rumah sakit pagi tadi, dan kini ia berusaha membuka kantong-kantong darah itu. Setelah berhasil membukanya, segera dikucurkannya cairan merah tersebut ke atas batang bambu yang tertancap di tengah makam.

Dalam sekejap darah manusia tersebut hilang terserap gundukan tanah segar. Batang bambu hijau kekuningan kini telah berubah menjadi merah.

Bau kemenyan masih mengitari tempat itu. Asapnya yang putih menari-nari memenuhi kompleks makam. Rasyid mengambil segenggam pasir dan menaburkannya di atas lantai semen di depan makam.

"Berikan aku nomor keberuntunganku!" teriaknya lantang. Tangannya kembali mengucurkan kantong darah ke atas batang bambu. Ia menunggu sejenak. Tak ada reaksi apa pun. Ia membakar kemenyan lebih banyak, lalu butiran-butiran yang masih panas itu diambil dan ditaburkannya di atas makam. Kembali terdengar pekik kesakitan dari dalamnya.

Sekonyong-konyong angin dingin berhembus. Pepohonan di sekelilingnya bergoyang-goyang dan dedaunan kering jatuh berguguran.

Tiba-tiba dilihatnya pasir yang tadi ditaburkannya di lantai semen bergerak dan membentuk pola tertentu. Rasyid menyinari lantai dengan lampu senter agar dapat melihat lebih jelas.

"Tujuh... enam.... satu ..... sembilan....," gumamnya.

Ia merogoh saku kemejanya dan mengeluarkan secarik kertas. Segera dicatatnya angka-angka tersebut.

"Terima kasih! Kini aku akan memberikan apa yang kau mau dan urusan kita selesai sampai di sini!" Ia membuka kantong darah terakhir yang dimilikinya dan menumpahkannya di atas batang bambu. Kemudian dicabutnya bambu tersebut dan dilemparkannya jauh-jauh.

*****

Pagi itu tidak seperti biasanya. Angin berhembus sangat kencang dan awan mendung bergulung-gulung di langit, membuat udara terasa dingin menusuk tulang.

Tapi itu bukan halangan bagi Rasyid untuk bangun lebih awal dari biasanya. Setelah berpamitan pada istrinya, ia bergegas pergi menuju kios kecil yang terletak beberapa blok dari tempat tinggalnya, di mana ia membeli beberapa lembar kupon undian pada hari sebelumnya.

Istrinya bingung melihat segala tingkah laku suaminya. Sudah beberapa hari ini suaminya bertingkah laku aneh. Tetapi semua pertanyaannya hanya dijawab dengan jawaban yang sama setiap kalinya.

"Kau tahu, aku selalu berusaha agar keadaan ekonomi keluarga kita membaik. Kau tahu kan, Sayang, kita tak ingin anak-anak kita kelak merasakan penderitaan yang selalu kita alami selama ini. Percayalah, aku melakukan ini semua demi anak-anak kita. Demi kita semua."

Tapi dengan jawaban yang selalu sama dan diulang-ulang itu, istrinya tetap tak mengerti apa sebenarnya yang menyibukkan suaminya beberapa pekan terakhir ini. Istrinya tak ingin memikirkan hal itu lebih jauh. Ia percaya bahwa Rasyid, suaminya, adalah orang yang baik dan bertanggung jawab, dan tak akan melakukan hal-hal yang melanggar hukum.

Rasyid melangkahkan kakinya dengan tergesa-gesa. Ia sudah tak sabar lagi ingin segera sampai di kios itu. Akhirnya beberapa menit kemudian, bangunan mungil itu terlihat di depan matanya. Walaupun hari masih pagi, beberapa orang terlihat sudah mengerumui kios tersebut mendahuluinya. Mereka tampak antusias berdesak-desakan melihat ke arah papan pengumuman di mana terpampang nomor undian untuk minggu itu yang keluar beberapa jam sebelumnya.

Sialan, Rasyid mengumpat dalam hati. Ternyata orang-orang itu bangun lebih awal daripada aku sendiri. Atau mungkin, mereka tidak tidur semalaman? Dasar orang-orang bodoh! Mereka bangun pagi hanya untuk mendapatkan kekecewaan dan kekalahan. Rasyid menertawakan dalam hati.

Akhirnya Rasyid menginjakkan kakinya di kios itu. Beberapa orang tampak mengumpat-umpat sambil merobek kupon undian mereka. Rasyid menerobos kerumunan di depan papan pengumuman dan matanya segera tertuju pada angka-angka yang tertera di papan tersebut. Detik berikutnya ia bersorak.

Tujuh enam satu sembilan!

Setengah tak percaya ia segera merogoh saku celananya dan mengeluarkan beberapa lembar kupon undian. Dibukanya kupon yang tampak kumal itu dengan tergesa-gesa dan ia segera mencocokkan angka-angka yang tertera di atasnya untuk memastikan.

Jantungnya berdegup kencang. Semua angka yang tertera di kupon-kupon undian itu persis sama dengan angka yang tertera pada papan pengumuman!

Aku kaya! Kaya! Kaya! Hatinya bersorak gembira. Di benaknya terlintas barang-barang yang sudah lama diidam-idamkan keluarganya yang akan segera dibelinya. Kini ia memiliki cukup uang untuk membeli semua yang yang sudah lama diinginkannya. Tak ada lagi istilah 'meminjam' atau 'berhutang' pada tetangga dan keluarganya. Kini semuanya akan berubah total!

Rasyid benar-benar gembira hari itu. Belum pernah dalam hidupnya ia merasakan kegembiraan yang demikian besar!

*****

Kantor tempat Rasyid bekerja terlihat ramai seperti biasanya. Orang-orang yang hilir mudik menambah kesan kesemrawutan siang itu. Kebanyakan karyawan sedang sibuk di meja mereka masing-masing.

Begitu pula Rasyid. Tapi kesibukannya berbeda dengan staf yang lainnya. Ia sedang sibuk menghitung-hitung dengan kalkulatornya berapa uang yang dibutuhkannya untuk membeli mobil keluaran terbaru. Kendaraan yang selama ini setia menemaninya adalah sebuah motor tua, yang walaupun masih dalam kondisi baik, tetap tak dapat melindungi dirinya dan keluarganya dari terik sinar matahari dan terpaan hujan!

Ketika ia sedang asyik memijit-mijit tombol kalkulator di mejanya, tiba-tiba telepon genggam yang baru dibelinya beberapa hari yang lalu berbunyi.

"Hah? Apa? Istriku sudah melahirkan?" katanya sambil bangkit dari tempat duduknya. Wajahnya terlihat tegang.

"Baik, baik. Aku akan segera ke sana," Seketika Rasyid menyambar jaket dan kunci sepeda motornya. Kemudian ia berpaling pada pria yang ada di sebelahnya. "Aku harus pergi sekarang ke rumah sakit. Istriku melahirkan lebih cepat dari perkiraan dokter sebelumnya. Tolong titip, ya."

"Beres deh! Wah, selamat ya, Pak Rasyid. Anda sudah jadi ayah sekarang," temannya memberi selamat sambil tersenyum. Rasyid membalas senyumnya sambil bergegas meninggalkan kantor.

Lima belas menit kemudian sepeda motor hitamnya telah memasuki halaman rumah sakit tersebut. Setelah memarkir motornya, ia segera naik ke lantai dua tempat istrinya dirawat. Di sana telah menunggu kedua orang tuanya, mertuanya dan juga saudara-saudaranya yang lain. Mereka semua terlihat cemas. Ayahnya menghampirinya.

"Nak, cepatlah kau tengok istrimu."

"Apa dia baik-baik saja?"

"Ya, ya..." ayahnya menjawab ragu-ragu. Ibunya terlihat menangis tersedu-sedu. Sementara ibu dan ayah mertuanya diam membisu seribu bahasa. Demikian juga yang lainnya. Rasyid merasakan ada sesuatu yang tak beres. Ia bertambah gelisah.

Tiba-tiba pintu terbuka. Seorang dokter diikuti dengan dua orang perawat keluar dari ruangan tempat istrinya dirawat. Rasyid dan anggota keluarga yang lain tergesa-gesa menghampirinya.

"Bagaimana istri dan anak saya, Dok? Saya suami Bu Rasyid yang dirawat di ruang depan. Mereka tidak apa-apa kan, Dok?"

Dokter itu menghentikan langkahnya. Sejenak ia terdiam sambil membetulkan letak kaca matanya. Kemudian ia berkata,

"Istri anda sebenarnya baik-baik saja. Tapi ia syok melihat keadaan bayinya..."

"Memang, ada apa dengan anak saya? Kenapa dia?" Kecemasan meliputi wajahnya.

"Putra anda terlahir kurang sempurna. Kedua matanya rusak berat. Kemungkinan besar ia mengalami kebutaan total. Sewaktu lahir kami menemui dua buah batang bambu kecil menusuk dan menancap tepat pada kedua bola matanya. Kami sama sekali tidak mengerti bagaimana ini bisa terjadi dan dari mana datangnya kedua buah batang bambu tersebut." Dokter itu menggeleng-gelengkan kepalanya. Kemudian ia melanjutkan,"Saya turut menyesal, Pak Rasyid."

Tapi Rasyid tak mendengarnya. Pandangannya tiba-tiba kabur dan seluruh tubuhnya lemas.

Batang bambu? Tidak mungkin! Tidak mungkin!

"Tidak! Tidak!" Rasyid menjerit histeris sambil memegangi kepalanya. Apa yang telah diperbuatnya sehingga ia harus mengalami hal mengerikan seperti itu? Mengapa Tuhan memberikan semua cobaan ini kepadanya? Mengapa putranya yang tak bersalah dan tak mengerti apa-apa yang harus menanggung semuanya?

Rasyid tak bisa lagi menguasai dirinya. Tiba-tiba segalanya menjadi gelap dan ia ambruk menimpa meja kecil yang ada di dekatnya. Tangan kanannya luka tergores sudut meja kaca tersebut.

Beberapa menit kemudian ia siuman dan mendapati dirinya terbaring lemas. Kepalanya terasa pusing dan pandangannya berkunang-kunang. Keluarganya memandangnya dengan cemas.

"Kau harus tabah menerima semua ini, Nak," ibunya berkata sambil terisak-isak. Matanya berkaca-kaca.

Rasyid terdiam. Ia tak mempunyai keberanian untuk mengungkapkan apa yang telah diperbuatnya.

Andai mereka tahu apa yang telah diperbuatnya, ia mengeluh dalam-dalam.

Ya... andai mereka semua tahu apa penyebab semua ini.

Dan .....

Andai Rasyid tahu bahwa luka di tangan kanannya akan menimbulkan bekas menyerupai batang bambu. Bekas yang akan selalu meninggalkan kepedihan mendalam yang akan mengingatkannya seumur hidupnya. kumpulan Cerita Hantu Cerita Seram Angka

Cerita Hantu Cerita Seram Aisyah

Malam itu di asrama anak laki-laki panas sekali. Dan Husein masih belum bisa tidur. Berkali-kali ia membalikkan badannya di tempat tidur sambil mengumpat-umpat.
"Kenapa aku harus tidur secepat ini? Aku kan sudah sehat!"
Sudah tiga hari ia menempati klinik asrama karena radang tenggorokan. Sebenarnya sore itu dokter sudah menyatakan bahwa ia sudah sembuh, tapi ia hanya mengijinkan untuk kembali ke kamarnya esok paginya.


"Besok saja ya, sekarang kan tanggung, kamarmu yang dulu belum dibersihkan," Dokter itu berujar. Husein terpaksa menurut sambil bersungut-sungut. Sialan, umpatnya, bisa mati kebosanan aku di sini. Tinggal selama tiga hari di klinik asrama itu sendirian yang letaknya bersebelahan dengan kamar ibu asrama terasa tiga tahun baginya. Tidak ada televisi dan radio. Sungguh membosankan!

Husein memandang ke arah jendela di sampingnya yang terbuka setengah. Angin malam berhembus masuk ke dalam kamarnya yang dicat putih. Huh, masih terasa panas, keluhnya sambil mengusap keningnya yang agak berkeringat. Kipas angin di atas kepalanya sudah lama tidak berfungsi lagi. Tangannya bergerak untuk membuka jendela itu lebih besar lagi ketika ia menangkap sesosok bayangan putih berkelebat di atas pohon tepat di seberang kamarnya.

Ia adalah sesosok wanita muda cantik yang sedang duduk duduk di atas dahan yang tinggi sambil menggerak-gerakkan kakinya dan bersenandung pelan. Husein menatapnya tak berkedip. Jantungnya berdegup keras...

Sekonyong-konyong wanita itu menatap lurus ke arahnya. Tatapannya tajam dan menusuk. Suasana terasa hening mencekam.

Sebelum Husein sempat menyadari apa yang sebenarnya sedang terjadi, tiba-tiba wanita itu terbang dari atas pohon dan detik berikutnya wajahnya sudah berada dekat sekali di jendela. Mereka saling bertatapan. Kemudian wanita itu tersenyum menyeringai. Memperlihatkan taring-taringnya yang tajam dan menyeramkan!

Husein tersentak! Dengan refleks ia megunci jendela dan menutup tirainya rapat-rapat. Tubuhnya gemetaran. Segera ia berteriak-teriak minta tolong dan menyelubungi dirinya dengan selimut bergaris hijau yang selama ini tidak pernah dipakainya. Tapi kemudian ia teringat bahwa ibu asrama sedang keluar kota dan ia tidak tahu ke mana suster centil yang seharusnya berjaga di kamar sebelah.

Kemudian ia berusaha mengucapkan doa-doa yang pernah dipelajarinya selama ini. Entah karena gugup atau lupa, tidak satu pun doa-doa yang sempurna diucapkannya.

Tapi ia tidak peduli. Ia terus berusaha mengucapkan doa-doa sebisanya sampai ia kelelahan dan jatuh tertidur di balik selimutnya yang tebal. Beberapa saat kemudian ia terbangun karena merasa kegerahan. Tubuhnya basah kuyup oleh keringat. Pelan-pelan ia membuka selimut yang menyelubungi kepalanya sedikit demi sedikit dan mengintip keadaan kamarnya. Keadaan sunyi senyap. Jam dinding berdetak pelan dan lembut. Husein melirik ke arah jam tersebut. Sudah pukul 2.15 pagi.

Ia menyibakkan selimutnya dan berusaha untuk tidur lagi ketika ia mendengar suara langkah sepatu berhak tinggi di koridor di depan kamarnya. Mungkinkah itu ibu asrama yang baru datang dari luar kota?

Husein baru saja memejamkan matanya ketika ia mendengar seseorang membuka pintu kamarnya dan melangkah masuk ke dalam.

"Bagaimana keadaanmu hari ini, Sayang?" Suara suster Jane yang genit yang dikenalnya selama ini menenangkannya. Mendadak ia merasa tenang karena ia tidak sendirian lagi di kamarnya.

"Eh, baik, Sus. Suster dari mana? Kok sudah selarut ini belum tidur?" Husein berkata.

"Aku habis jalan-jalan di luar, soalnya udara panas sekali hari ini," Suster Jane berkata sambil mengusap-usap dahi Husein yang agak basah oleh keringat. Ia begitu lembut dan penuh perhatian. Tangannya yang halus terasa sangat menyejukkan jiwanya. Tanpa terasa ia merasa mengantuk dan mulai menutup matanya.

"Tidurlah, Sayang..." Suster Jane berkata lembut.

Husein membuka matanya kembali untuk mematikan lampu baca yang ada di samping tempat tidurnya ketika tanpa sadar ia melihat ke arah lantai dan menyadari bahwa yang selama ini dikiranya Suster Jane ternyata kakinya tidak menapak pada tanah melainkan melayang di udara!

Serentak Husein menjerit dan meloncat dari tempat tidurnya dan segera berlari di koridor sambil berteriak-teriak seperti orang gila. Ia berlari ke arah kamar Pak Singh, tukang kebun, yang kebetulan berada tidak jauh dari kamarnya. Ia menggedor-gedor kamarnya sambil berteriak-teriak ketakutan.

Sesaat kemudian Husein sudah berada di dalam kamar Pak Singh, yang masih berusaha menenangkannya. Sementara itu guru-guru dan teman-temannya yang lain yang terbangun oleh teriakannya ikut berdesak-desakan di kamar Pak Singh yang sempit dan mengerubunginya. Mereka bertanya-tanya apa yang sebenarnya telah terjadi.

"Tenang, tenang... Biarkan ia minum dulu," kata Pak Ahmad sambil menyodorkan segelas air putih. Husein menerima air yang disodorkan dan segera meminumnya. Tanpa disadarinya tiba-tiba ia merasa sangat haus, dan ia segera menghabiskan air tersebut.

Setelah tenang kembali, ia menceritakan apa yang telah dialaminya malam itu. Semua berpandang-pandangan.

"Pasti itu Aisyah. Ya, itu pasti dia...," orang-orang ribut menggumam.

Kemudian Pak Singh menceritakan bahwa beberapa tahun yang silam terdapat seorang siswa yang dikeluarkan dari asrama karena berpacaran dengan anak salah seorang tukang kebun waktu itu. Hubungan mereka tidak direstui oleh kedua belah pihak sehingga pihak asrama terpaksa mengeluarkan siswa tersebut dari sekolah. Sejak saat itu anak laki-laki itu tak lagi menunjukkan batang hidungnya di asrama tersebut sehingga Aisyah merasa putus asa dan mengakhiri hidupnya dengan menggantung diri di atas pohon tepat di depan kamar klinik asrama. Tubuhnya ditemukan pada pagi hari keesokan harinya oleh ayahnya sendiri yang telah mencarinya ke mana-mana malam sebelumnya.

Sejak peristiwa itu beberapa siswa telah menemui hal-hal ganjil dan menyeramkan di sekitar pohon tersebut, terutama pada malam bulan purnama seperti apa yang dialami Husein pada malam itu.

Bahkan tahun sebelumnya ada dua orang siswa yang sedang melewati koridor di dekat klinik asrama secara kebetulan melihat seorang gadis berpakaian suster yang wajahnya mirip dengan Aisyah. Tetapi waktu didekati, gadis itu tiba-tiba menghilang. Atau, beberapa orang tukang yang sedang membetulkan pipa di halaman belakang kadang-kadang melihat sesosok wanita muda berpakaian putih sedang duduk berayun-ayun di atas pohon sambil bersenandung riang dan tertawa-tawa kecil. Tapi wajah pucatnya menunjukkan kesedihan hatinya. Cerita Hantu Cerita Seram Aisyah

LinkWithin